Tapi siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka
memangsa daging manusia terlebihnya daging anak-anak. Dengan karakternya yang
dikenal seperti itu, maka warga setempat pun menamai nenek itu dengan sebutan
Nenek Pakande (diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan).
Biasanya Nenek Pakande itu berkeliaran keliling kampung untuk mencari mangsa
pada hari ketika sang fajar sudah mulai tenggelam.
Suatu sore saat hari sudah mulai gelap, ada sepasang saudara kakak beradik yang
tengah seru bermain di sekitar halaman rumah mereka.
“Nak, ayo cepat masuk ke rumah ini sudah malam!” Seru ibunya dari balik pintu.
Akan
tetapi kedua bersaudara itu sedikit pun tak menghiraukan apa yang diperintahkan
oleh ibunya dan kemudian kembali lagi bermain. Mereka hanya memanggap perintah
ibunya hanyalah angin yang berhembus begitu saja. Tidak lama kemudian, ibu dari
kedua anak itu pun sejenak menghampiri kedua anaknya dan menyuruhnya masuk,
tetapi kedua anak itu tetap saja membandel. Dan ibu itu pun kembali masuk ke
rumahnya dan membiarkan anak-anaknya bermain.
Tanpa ibu itu menyadari bahwa anaknya sedang dipantau dari jarak jauh oleh
Nenek Pakande. Melihat suasana yang sangat sunyi, tak ada seorang pun yang
berlalu-lalang di sekitar tempat itu, Nenek Pakande mempergunakan waktu itu
untuk menculik kedua anak tersebut lalu dijadikannya mangsa.
Berselang waktu kemudian, ibu dua orang anak tersebut keluar dan didapatinya
kedua anaknya sudah tak ada di tempatnya lagi. Lalu ia mencari ke seluruh
penjuru rumahnya tetapi ia tak menemukan anaknya sekali pun. Ia pun bergegas
keluar rumah sambil teriak minta tolong.
“Tolong…..tolong…..tolong….. Anakku hilang!” dengan suara yang tersedu-sedu
sambil menangis.
“Ada apa bu? Apa yang terjadi dengan anak ibu?” sapa salah satu warga setempat.
Lalu
ibu itu pun menceritakan apa-apa yang telah terjadi dengan anak-anaknya kepada
bapak itu. Kemudian bapak itu segera memanggil warga untuk membantunya mencari.
Lambat laung pun warga sudah terkumpul banyak, siap untuk melakukan pencarian
menelusuri kampung-kampung dengan alat penerangan seadanya.
Hingga larut malam pun tiba, kedua anak tersebut tak kunjung jua ditemukan.
Akhirnya kepala kampung yang memimpin pencarian tersebut meminta pencarian itu
dihentikan sementara.
Keesokan harinya saat pencarian akan dilakukan kembali, tiba-tiba ada laporan
dari seorang warga yang kehilangan bayinya, ketika saat itu orang tua bayi
tersebut sedang tertidur nyenyak. Warga setempat pun semakin resah dengan
kejadian yang saat ini menimpa desa mereka.
Ketika
malam tiba para orang tua tidak bisa menutup kedua kelopak matanya karena
dihantui rasa cemas. Mereka harus memantau anak-anak mereka serta menjaganya
hingga pagi menjemput.
Saat
para warga berkumpul di suatu titik di desa mereka, mereka menceritakan setiap
kekhawatiran yang mereka alami saat malam hari tiba. Mereka bingung, siapa
dalang di balik penculikan misterius ini.
Seketika ada seorang warga yang mengusulkan untuk pergi ke rumah Nenek Pakande.
Karena warga setempat tahu bahwa Nenek Pakande adalah seorang pemangsa
anak-anak.
“Kenapa kita hanya berdiam diri saja di sini, kenapa kita tidak langsung saja
beramai-ramai ke rumah Nenek Pakande itu? Karena besar kemungkinan dia yang
telah menculik anak-anak yang ada di desa kita.”
“Hei, bukankah Nenek Pakande itu adalah seseorang yang sangat sakti, karena dia
memiliki kekuatan gaib yang sulit untuk ditaklukkan.” Tentang salah seorang
warga lainnya.
“Ya benar juga, Nenek Pakande adalah seorang siluman yang sangat sakti, tak ada
seorang manusia biasa pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya. Setauku Nenek
Pakande hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa
Rawo Ale. Tetapi sekarang entah di mana raksasa itu berada. Kabar serta seluk
beluk tubuhnya pun tak pernah lagi terdengar dan terlihat.” Jawabnya seorang
warga lagi.
Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah sesosok raksasa yang tingginya
diperkiran 7 hasta dengan badan yang sangat besar, dia juga suka memakan daging
manusia. Akan tetapi dia adalah raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia
yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya.
“Lantas apa yang harus kita perbuat sekarang untuk memusnahkan Nenek Pakande
itu?” melanjutkan pertanyaan.
Tak seorang pun dari mereka yang ingin angkat bicara, suasana saat itu
tiba-tiba menjadi diam, penuh kecemasan dan kekhawatiran, dan mereka
kebingungan tentang masalah itu.
Di tengah-tengah kecemasan tersebut, seorang pemuda yang berdiri di
tengah-tengah sekumpulan warga pun angkat bicara. Pemuda tersebut bernama La
Beddu, dia adalah pemuda yang cerdik, pandai, lagi berani. Dia dikenal warga
sebagai pemuda yang ramah, taat beribadah, dan suka membantu orang yang sedang
tertimpa masalah.
“Maaf para warga-warga desa jika saya lancang, tapi saya punya suatu cara untuk
mengenyahkan Nenek Pakande dari desa kita.”
Suasana pun menjadi hening seketika. Timbullah ribuan harapan yang tertimbun di
dalam diri setiap warga, tapi tidak sedikit pula warga yang memandangnya
sebelah mata dengan pandangan yang merendahkan, karena mereka tidak yakin bahwa
La Beddu bisa mengalahkan Nenek Pakande.
“Hai La Beddu, apa kuasamu? Kamu hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki
kesaktian sedikit pun, dibandingkan dengan Nenek Pakande yang kesaktiannya
sangat kuat.” Jawab seorang warga selaku merendahkan.
La Beddu kemudian diam dan tersenyum dan melanjutkan pembicaraan dengan nada
yang tenang. “Tidak selamanya kesaktian harus dilawan dengan kesaktian pula.
Kita sebagai manusia diberi akal untuk berfikir.” Jelas La Beddu.
“Apa sekiranya maksudmu itu La Beddu? Apakah kamu tak takut sedikit pun dengan
Nenek Pakande?” Tanya warga tersebut sekali lagi.
“Maksud saya, kita bisa melawan Nenek Pakande tidak harus ketika kita memiliki
kesaktian yang kuat. Kita bisa melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita
saling bahu membahu melawannya, yakinlah bahwa kita bisa mengenyahkannya. Maka
dari itu siapkan saya beberapa ekor belut dan kura-kura, salaga (garu), busa
sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar. Dan
setelah itu kumpulkanlah semua hewan dan benda-benda itu di rumah saya.” Seru
La Beddu.
“Untuk apa hewan beserta benda-benda tersebut La Beddu?” Tanya warga lainnya.
“Nantilah kalian mengetahuinya setelah apa yang ku perintahkan telah terkumpul
semua di rumahku.” Jawab La Beddu.
Seketika pun warga membubarkan diri mereka masing-masing dan segera mencari apa
yang diperintahkan oleh La Beddu. Ada yang mencari belut di sawah-sawah, kura-kura
di sungai, dan yang lainnya sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu
ember. Setelah semuanya terkumpul, barulah mereka menuju ke rumah La Beddu dan
mengumpulkan semua apa yang telah diperintahkannya.
“Hai La Beddu, sekarang jelaskan kepada kami apa guna barang yang telah engkau
suruhkan kepada kami!” seru seorang warga.
La Beddu pun kemudian menjelaskan apa guna dari barang-barang tersebut. Selaga
akan dia jadikan menyerupai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Busa
sabun ia akan jadikan menyerupai air liur, kulit rebung sebagai terompet atau
pembesar suara agar menyerupai suara besar seorang raksasa. Adapun belut dan
batu besar akan di tempatkan di depan pintu dan di bawah tangga. Itu semua aku perintahkan
agar kita bisa mengelabui Nenek Pakande dengan menyamar sebagai raksasa.
Pada siang hari, La Beddu beserta warga pun menyusun rencana untuk
mengelabui Nenek Pakande. Dua orang utusan warga diperintahkan untuk
menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di bawah tangga kemudian
bersembunyi di bawah rumah panggung.
Setelah matahari sudah mulai tak nampak lagi dan hari sudah mulai gelap, para
warga mengunci rapat-rapat pintu mereka dan memadamkan lampu pelita mereka. Ini
adalah sebagian dari rencana La Beddu karena ada sebuah rumah yang terletak
paling ujung di perkampungan mereka yang dinamakan Balla Raja, rumah itu adalah
rumah panggung yang sangat besar. Di rumah itu diberikan cahaya lampu yang
paling terang agar Nenek Pakande tersebut terpancing dan menuju ke rumah itu.
Salah satu umpan yang lain adalah di taruhnya anak bayi di dalam suatu kamar
tetapi dalam pengawasan ketat warga setempat. Sementara La Beddu bersembunyi di
atas genteng.
Malam itu adalah malam Jum’at, di mana sinar rembulan sangat terang. Saat Nenek
Pakande sudah mulai berkeliaran, dia heran mengapa semua lampu tak ada satu pun
yang menyala keculai rumah yang bernama Balla Raja. Nenek Pakande pun
menghampiri rumah tersebut. Beberapa saat kemudian setelah Nenek Pakande tiba
di depan pintu yang sangat besar dia mencium aroma seorang bayi dari dalam
rumah tersebut. Tanpa berpikir panjang, Nenek Pakande pun masuk ke dalam rumah
tersebut. Tanpa sepengetahuan Nenek Pakande, 2 orang pemuda tersebut
melaksanakan tugasnya dan kembali bersembunyi. Ketika dia berhadapan dengan
pintu kamar yang sangat tinggi dan besar, Nenek pakande pun semakin merasakan
aroma bayi tersebut.
Seketika muncullah suara misterius yang menyapa Nenek Pakande.
“Hei Nenek Pakande, apa gerangan yang membuat engkau datang ke mari?” Tanya La Beddu yang menyamar sebagai raksasa besar Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.
“Saya ingin mengambil bayi yang ada dibalik pintu besar itu. Siapa kamu?” jawab
Nenek Pakande.
“Saya Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, dan saya ingin kamu pergi dari desa
ini sejauh mungkin karena sudah meresahkan warga setempat.” Ujar sang raksasa.
“Ahh, saya tidak percaya jikalau kamu ada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo
Ale.” Jawab Nenek Pakande dengan menambah beberapa langkah kakinya selaku
mengacuhkan.
La Beddu pun menumpahkan seember busa sabun yang dipakainya untuk mengelabuhi
Nenek Pakande sebagai air liur raksasa. Lalu memperdengarkan suara mengaumnya.
“Aku lapar Nenek Pakande, lihatlah air liurku sudah mengalir. Jika kau tak
segera enyah dari hadapanku, maka kau akan menjadi santapanku.”
Dengan dihantui rasa cemas, Nenek Pakande pun berkata lagi, “Hihihi, saya tidak
percaya denganmu, pasti kamu hanyalah orang biasa yang menyamar sebagai Raja
Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.”
La Beddu pun menjatuhkan selaga yang dibuatnya menyerupai sisir yang besar dan
kura-kura secara beruntung.
“Ah.. Kutu ini banyak menggangguku dan membuat kepalaku gatal saja.” Kata Sang
Pemuda yang mengaum.
“
Nenek Pakande, kau jangan membuatku jadi lebih marah lagi.” Lanjut La Beddu.
Melihat
kura-kura dan selaga yang jatuh ke lantai, membuat nyali Nenek Pakande akhirnya
ciut juga.
Tanpa menunggu lama, Nenek pakande pun lari menuju pintu keluar. Tanpa
dilihatnya, dia menginjak seekor belut dan terpeleset jatuh hingga anak tangga
yang paling akhir dan kepalanya terbentur pada batu besar yang telah disiapkan.
Tetapi Nenek Pakande tetap memaksakan diri untuk bangkit kembali. Dengan
kesaktiannya, Nenek Pakande pun terbang ke bulan. Dan sebelum terbang ke bulan,
Nenek Pakande meninggalkan suatu pesan “Saya akan memantau anak kalian dari
atas sana dengan cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Dan suatu saat
nanti saya akan kembali memangsa anak-anak kalian.”
Maka dari itu, orang tua sekarang banyak yang menasehati anaknya jangan keluar
jika sudah malam, nanti kalian di makan Nenek Pakande.
Sekian
cerita rakyat ini dapat saya sampaikan. Semoga cerita rakyat ini dapat menambah
khazanah cerita rakyat yang kitamiliki. Sampai jumpa di cerita rakyat
selanjutnya.