Monumen Mandala | Wisata Sejarah Pembebasan Irian Barat
(Cara Belajar SD Mangkura)
Menjulang tinggi di pusat Kota Makassar, sekitar setengah
kilometer sebelah Selatan Lapangan Karebosi. Monumen yang didirikan di atas
lahan seluas satu hektare ini dibangun pada tanggal 11 Januari 1994. Peletakan
batu pertama dilaksanakan oleh Menko Polkam Soesilo Sudarman, dan diresmikan
oleh Presiden H. M. Soeharto, pada tanggal 19 Desember 1995.
Monumen Pembebasan Irian Barat atau lebih dikenal sebagai
Monumen Mandala adalah pengingat atas keberhasilan Indonesia merebut kembali
(pembebasan) wilayah Irian Barat -sekarang Papua- yang bergolak pada 1962 ke
pangkuan Ibu Pertiwi. Ketika itu Indonesia masih dipimpin presiden pertama RI,
Soekarno. Meskipun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan hampir 20 tahun,
namun Belanda masih menguasai wilayah Irian Barat. Tinggi Menara Monumen yang
mencapai ketinggian 62 meter merupakan simbol tahun 1962, tahun terjadinya
perjuangan pembebasan Irian Barat.
Lalu,
mengapa monumen ini dibangun di Makassar? Karena perjuangan dimulai dari kota
ini. Di sinilah bermarkas pasukan pembebasan Irian Barat.
Sejarah mencatat, perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda untuk membebaskan Irian Barat ketika itu semuanya kandas dan berakhir sia-sia tanpa hasil. Akhirnya, pemerintah menggunakan kekuatan militer; Presiden Soekarno pada Desember 1961 mencetuskan Tiga Komando Rakyat atau Trikora.
Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta, dan mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima serta Komando Mandala. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian Barat dengan Indonesia.
Guna melancarkan operasi militer ini Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer dari Uni Soviet, antara lain:
Sejarah mencatat, perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda untuk membebaskan Irian Barat ketika itu semuanya kandas dan berakhir sia-sia tanpa hasil. Akhirnya, pemerintah menggunakan kekuatan militer; Presiden Soekarno pada Desember 1961 mencetuskan Tiga Komando Rakyat atau Trikora.
Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta, dan mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima serta Komando Mandala. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian Barat dengan Indonesia.
Guna melancarkan operasi militer ini Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer dari Uni Soviet, antara lain:
41
Helikopter MI-4 (angkutan ringan),
9 Helikopter MI-6 (angkutan berat),
30 pesawat jet MiG-15,
49 pesawat buru sergap MiG-17,
10 pesawat buru sergap MiG-19,
20 pesawat pemburu supersonik MiG-21,
12 kapal selam kelas Whiskey,
puluhan korvet, dan
1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian).
Dari jenis pesawat pengebom, terdapat 22 unit pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.
Semua potensi nasional kala itu dimobilisasi. Mulai pusat hingga daerah, bersiap-siap melakukan langkah militer untuk merebut Irian Barat. Soekarno membentuk Komando Mandala yang besifat gabungan. Setelah itu melantik Brigjen Soeharto menjadi Deputi Wilayah Indonesia Timur dan Panglima Komando Mandala setelah pangkatnya dinaikkan menjadi Mayjen.
9 Helikopter MI-6 (angkutan berat),
30 pesawat jet MiG-15,
49 pesawat buru sergap MiG-17,
10 pesawat buru sergap MiG-19,
20 pesawat pemburu supersonik MiG-21,
12 kapal selam kelas Whiskey,
puluhan korvet, dan
1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian).
Dari jenis pesawat pengebom, terdapat 22 unit pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.
Semua potensi nasional kala itu dimobilisasi. Mulai pusat hingga daerah, bersiap-siap melakukan langkah militer untuk merebut Irian Barat. Soekarno membentuk Komando Mandala yang besifat gabungan. Setelah itu melantik Brigjen Soeharto menjadi Deputi Wilayah Indonesia Timur dan Panglima Komando Mandala setelah pangkatnya dinaikkan menjadi Mayjen.
Desain
Monumen
Desain monumen yang dibuat dengan bentuk segi tiga sama sisi menyimbolkan Tiga Komando Rakyat (Trikora). Pada bagian bawah monumen, terdapat relief lidah api yang menjadi simbol semangat dari Trikora, sementara relief sama di bagian atas melambangkan semangat yang tidak pernah padam. Lalu ada juga 27 patung batang bambu runcing sebagai simbol instrumen perjuangan fisik rakyat saat itu.
Desain monumen yang dibuat dengan bentuk segi tiga sama sisi menyimbolkan Tiga Komando Rakyat (Trikora). Pada bagian bawah monumen, terdapat relief lidah api yang menjadi simbol semangat dari Trikora, sementara relief sama di bagian atas melambangkan semangat yang tidak pernah padam. Lalu ada juga 27 patung batang bambu runcing sebagai simbol instrumen perjuangan fisik rakyat saat itu.
Monumen
juga dikelilingi oleh kolam yang berarti kejernihan berpikir yang mutlak
dimiliki dalam setiap perjuangan. Sayang, kondisi monumen terlihat kurang
mendapat perawatan. Dinding menara dan beberapa bagian monumen ditumbuhi lumut
dan semak, begitu pula kolam air yang mengelilingi monumen sudah tidak
berfungsi lagi.
Keseluruhan tinggi monument Mandala mencapai 75 meter, terdiri empat lantai.
Keseluruhan tinggi monument Mandala mencapai 75 meter, terdiri empat lantai.
Lantai
pertama menggambarkan perjuangan pahlawan lokal, sementara lantai dua
menggambarkan perjuangan pahlawan nasional. Di areal tersebut juga terdapat
beberapa bangunan lain, seperti galeri, dan ruang pertemuan. Khusus galeri,
saat ini difungsigandakan sebagai Sekretariat Dewan Kerajinan Nasional
Indonesia Daerah Sulsel. Sementara ruang pertemuan masih sering dipakai,
seperti seminar dan aktifitas sejenis lainnya. Ruang pertemuan ini disewakan
dan ada pengelola khusus yang menanganinya.
Mudah
Dijangkau
Pada dinding bagian luar monumen terdapat banyak relief yang menggambarkan susana atau adegan sejumlah peristiwa bersejarah yang melibatkan sejumlah tokoh dan orang-orang penting di masa lampau. Diorama ini menjelaskan momen-momen bersejarah, khususnya pada masa perjuangan kemerdekaan.
Di lantai pertama ruangan monumen, terdapat 12 diorama (selengkapnya lihat catatan di akhir tulisan ini) yang masing-masing melukiskan sejumlah persitiwa penting di masa lalu. Sementara di lantai dua juga berisi relief dan diorama yang merupakan penjelasan sejarah seputar perjuangan pembebasan Irian Barat. Sama dengan lantai satu, lantai dua juga memiliki 12 diorama. Tiga relief yang ada di lantai dua ini menggambarkan sidang atau rapat persiapan membahas strategi pembebasan Irian Barat, ada relief Trikora, dan relief Jer Basuki Mawa Bea. Sementara lantai tiga berisi replika pakaian pasukan pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat.
Pada dinding bagian luar monumen terdapat banyak relief yang menggambarkan susana atau adegan sejumlah peristiwa bersejarah yang melibatkan sejumlah tokoh dan orang-orang penting di masa lampau. Diorama ini menjelaskan momen-momen bersejarah, khususnya pada masa perjuangan kemerdekaan.
Di lantai pertama ruangan monumen, terdapat 12 diorama (selengkapnya lihat catatan di akhir tulisan ini) yang masing-masing melukiskan sejumlah persitiwa penting di masa lalu. Sementara di lantai dua juga berisi relief dan diorama yang merupakan penjelasan sejarah seputar perjuangan pembebasan Irian Barat. Sama dengan lantai satu, lantai dua juga memiliki 12 diorama. Tiga relief yang ada di lantai dua ini menggambarkan sidang atau rapat persiapan membahas strategi pembebasan Irian Barat, ada relief Trikora, dan relief Jer Basuki Mawa Bea. Sementara lantai tiga berisi replika pakaian pasukan pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat.
Demonstrasi
di depan Monumen Mandala. Salah satu tempat favorit menyuarakan keprihatinan.
Meski
monumen ini hanya menara beton yang berongga, kaku, namun masih menyisakan
denyut perjuangan dan semangat yang kuat. Tak heran jika mahasiswa Makassar
memilih kawasan elit Makassar ini menjadi salah satu tempat favorit perjuangan
mereka; menyuarakan suara keprihatinannya (demonstrasi) atas apa yang menimpa
negeri ini.
Catatan:
12 Diorama: Dari Perang Makassar hingga Peristiwa Andi Azis
Terdapat 12 diorama, 3 relief dan 3 replika pakaian pejuang Abad XVII s/d XVIII. Diorama di lantai satu menceritakan tentang perjuangan di daerah Sulawesi, berikut penjelasan setiap diorama :
Diorama 1
Melukiskan Perang Makassar melawan Belanda, tahun 1668. Pertempuran terdahsyat yang pernah terjadi di Indonesia, mempertahankan Benteng Somba Opu, pusat Kerajaan Gowa di Makassar dari gempuran Belanda, dipimpin Speelman bersama sekutunya (Pasukan Bone yang dipimpin Arungpalakka, pasukan Buton dan Ambon) sementara rakyat Gowa dan sekutunya di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Akhir dari pertempuran itu, 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda. Belanda memberi julukan "AYAM JANTAN BENUA TIMUR” kepada Sultan Hasanuddin.
Diorama 2
Melukiskan Perlawanan Rakyat Wajo Terhadap Belanda, tahun 1716-1741. Pertempuran sengit ditepi sungai Topace’do,Tonrange-Tosora pada Tanggal 3 Maret 1741 digambarkan dalam diorama ini. Di bawah Pimpinan Lamadukelleng, selaku Arung Matoa Wajo memimpin perlawanan rakyat Wajo melawan pasukan Belanda yang dipimpin Gubernur Admiral Smout. Lamadukelleng bersama rakyatnya berhasil memukul mundur dan membunuh 100 tentara Belanda.
Diorama 3
Melukiskan Perlawanan Rakyat Mandar, tahun 1890. Belanda berusaha menguasai daerah Mandar penghasil kopra terbesar di Sulawesi Selatan. Di antara kerajaan-kerajaan Mandar, Kerajaan Balanipa merupakan basis terkuat perlawanan rakyat Mandar dalam menolak kekuasaan Belanda. Belanda mengajak Maradia Tokape dari Balanipa untuk kerjasama, namun ternyata ajakan tersebut ditolak, bahkan Maradia melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan menghadang pasukan Belanda yang mendarat di Majene. Meskipun istana dipertahankan dengan sengit akhirnya Maradia Tokape beserta pasukan pengawalnya berhasil ditangkap Belanda yang kemudian dibawah ke Makassar selanjutnya ke Jakarta, dan akhirnya dibuang ke Pacitan, Jawa Timur.
Diorama 4
Melukiskan Perlawanan rakyat Bone, tahun 1905. Dalam upaya melumpuhkan kekuatan Kerajaan Bone, Belanda berkali-kali mengadakan penyerangan terhadap Bone yang dikenal dengan sebutan Bonische Expeditio atau Ekspedisi Bone, sebuah bentuk penyerangan yang dilaksanakan Belanda melalui laut. Kerajaan Bone diperintah oleh Lapawawoi Karaeng Segeri, Raja Bone yang ke-31, Ia bergerilya meliputi daerah Bone, Wajo, Sidenreng Rappang dan Pare-Pare (dari Watanpone sampai pantai Makassar) dengan cara ditandu karena usia lanjut dengan dikawal putranya sendiri bernama Petta Punggawa. Dalam pertempuran di Batu daerah Pitturiase Wilayah Kerajaan Sidenreng putranya yang setia tewas dan Karaeng Segeri berhasil ditangkap tidak jauh dari tempat putranya tewas. Akhirnya Ia diasingkan ke Bandung terus ke Jakarta dan Meninggal pada Tanggal 17 Januari 1911 di Jakarta.
Diorama 5
Melukiskan Perlawanan Rakyat Tana Toraja, tahun 1906. "Moka ulungku, moka lettekku, Naparenta tobuta” yang artinya: Kaki dan Tanganku Tak Mau Di jajah oleh Orang Buta (Belanda), itulah ucapan Pongtiku ketika ia menolak panggilan Belanda, konsekuensinya Pongtiku harus bersiap-siap menerima serangan Belanda. Dan terjadilah pertempuran Bulan Juni 1906 di Desa Ledan. Pongtiku juga melaksanakan perang gerilya, berpindah-pindah dari satu kubu ke kubu yang lain, dari Gunung Kado ke Rinding Allo, akhirnya pindah ke Lali'Londong. Pada tanggal 7 Juli 1907 Ambo Dake yang diutus oleh Puang Pandanan menemui Pongtiku Di Gua Batu tempat persembunyiannya, diam-diam dibuntuti pasukan Belanda dan berhasil menyergap Pongtiku saat keluar dari Gua, lalu di bawa ke Rantepao. Tiga hari kemudian, tanggal 10 Juli 1907 Pongtiku ditembak mati oleh Belanda ditepi Sungai Sa'dang di pinggir kota Rantepao.
Diorama 6
Melukiskan Serangan Umum Terhadap Kota Palopo, 23 Januari 1946. Ada dua alasan rakyat Luwu melancarkan serangan umum terhadap Kota Palopo tanggal 23 Januari 1946. Pertama, ikut sertanya tentara NICA atau (KNIL) dengan membonceng pasukan sekutu (Australia) yang datang ke Palopo untuk menjemput dan mengambil tawanan serta senjata Jepang. Kedua, adalah kemarahan rakyat terhadap tindakan patroli KNIL yang mengotori Masjid BUA dengan sisa-sisa makanan kaleng, merobek-robek Al Qur'an serta memukuli pegawai masjid dengan gagang senapan. Serangan umum dilancarkan setelah ultimatum yang diberikan ternyata tidak dipatuhi oleh sekutu yakni agar tentara KNIL ditarik masuk kedalam tangsinya. Serangan umum dipelopori oleh Andi Jemma Datu Luwu, M. Yusuf Ariel dll, dan berhasil menghancurkan pasukan kecil sekutu yang ada di Kota Palopo.
Diorama 7
Melukiskan Perlawanan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (Lapris) di Polombangkeng, Mei 1946. Pada tanggal 17 Juli 1946 terbentuk organisasi laskar Pemberontak Rakyat Indonesia:(LAPRIS), dimana Ranggong Daeng Romo ditunjuk sebagai pimpinannya dibantu oleh Makkaraeng Daeng Mandjaruni, Robert Wolter Monginsidi dan lain-lain. Pada tanggal 27 Februari 1947 Subuh tiba-tiba markasnya yang berada di atas Gunung Lengkese-Polombangkeng diserang pasukan KNIL. la mengadakan perlawanan hingga titik darah penghabisan, dan gugur bersama-sama prajuritnya sebagai Kusuma Bangsa.
Diorama 8
Melukiskan Pelantikan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), 1946. KRIS sebagai bagian dari laskar seberang di Istana Yogyakarta. Badan perjuangannya dibentuk di Jakarta tanggal 10 Oktober 1945 oleh Barth Ratulangi, H. M. Idrus GP, Boece Waworuntu dll. KRIS didirikan untuk menyalurkan semangat juang para pemuda Sulawesi yang ada di Jawa dalam satu barisan sebagai spontanitas keikutsertaan mempertahankan kedaulatan RI, KRIS merupakan tindak lanjut dari APIS (Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi) yang sebelumnya adalah GEPIS (Gerakan Pemuda-Pemuda Indonesia Sulawesi) yaitu Organisasi Pemuda-Pemuda Sulawesi yang ada di Jakarta.
Diorama 9
Melukiskan Peristiwa korban 40.000 jiwa, 1946-1947. Pada tanggal 11 Desember 1946 sampai dengan pertengahan Maret 1947 di daerah Sulsel meliputi Kota Makassar, Pare-Pare, Bantaeng dan Mandar telah terjadi suatu tragedi pembunuhan rakyat pejuang secara biadab oleh pasukan kolonialis Belanda di bawah pimpinan Kapten Westerling. Aksi Westerling ini diperkirakan telah menelan korban lebib kurang 40.000 jiwa, termasuk yang hilang. Beberapa tokoh masyarakat korban kekejaman WESTERLING ini antara lain Datu Suppa "Andi Makkasau" dan pemimpin pemerintahan RI di Pare-Pare Andi Bau Massepe sedangkan salah satu wanita yang cukup gigih menentang, kekejaman ini ialah Ibu Depu (Ibu Agung).
Diorama 10
Melukiskan konferensi Kelaskaran Sulawesi-Selatan, 20 Januari 1947. Pada tanggal 20 Januari 1947 di Desa Pacekke, Kabupaten Barru telah berlangsung suatu Konferensi Rakyat Pejuang dengan maksud pembentukan TRI di Sulsel dan Tenggara. Rapat dipimpin oleh Andi Mattalatta selaku pengemban mandat dari panglima besar Jenderal Sudirman. Konferensi ini berjalan dengan baik dan berhasil membentuk Tri Divisi Hasanuddin, Yang terdiri dari tiga Resimen Yaitu:
1. Resimen I / Bade Massepe;
2. Resimen II / Andi Padjonga;
3. Resimen III / Andi Djemma.
Pada kesempatan itu dilantik pula para perwira dalam jajaran Tri
Divisi Hasanuddin.
Diorama 11
Melukiskan Kepahlawanan Robert Wolter Monginsidi di Sulawesi selatan, 1949.
"Setia Hingga Terakhir di Dalam Keyakinan" Inilah tulisan terakhir Wolter Monginsidi sebelum ia gugur sebagai pahlawan. Ia menjadi buruan Belanda nomor satu ketika pada bulan Juni 1946 dibentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (LAPRIA) yang mempersatukan 19 kelaskaran di daerah sekitar Makassar di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo, sementara Wolter Monginsidi dipilih sebagai Sekretaris Jenderalnya. Dalam perjuangannya Wolter pantang menyerah. Dua kali ia ditangkap oleh Belanda. Pertama pada tanggal 28 Februari 1947, kemudian dipenjarakan di Hogepad pada tanggal 26 Oktober 1947; ia ditangkap kembali pada Maret 1949. Dihadapkan ke depan pengadilan kolonial dan dijatuhi hukuman tembak mati pada dini hari 5 September 1949. Ia masih sempat menuliskan kata-kata di atas sebagai jawabannya.
Diorama 12
Melukiskan Peristiwa Andi Azis, 5 April 1950. Tanggal 30 Maret 1950 satu Kompi KNIL dibawah Kapten Andi Azis di Makassar melebur diri ke dalam APRIS. Tetapi tanggal 5 April 1950 mereka memberontak. Mereka menyerang markas Polisi Militer di Makassar dan menangkap Letnan Kolonel A. J. Mokoginta. Pemerintah mengeluarkan ultimatum supaya dalam waktu 4 x24 jam Andi Azis menghadap ke Jakarta. Karena ultimatum itu tidak diindahkan, APRIS mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang. Satuan-Satuan yang turut ialah Brigade Mobil Divisi IV Jawa Barat dan satu Batalyon di bawah pimpinan Mayor Andi Mattalatta. Pasukan diangkut dengan kapal-kapal APRIS dan mendarat di Makassar pada tanggal 26 April 1950. Namun sebelum pasukan mendarat, Andi Azis sudah menyerahkan diri ke Jakarta.
Sementara di lantai dua juga berisi relief dan diorama yang merupakan penjelasan sejarah seputar perjuangan pembebasan Irian Barat. Sama dengan lantai satu, lantai dua juga memiliki 12 diorama. Tiga relief yang ada di lantai dua ini menggambarkan sidang atau rapat persiapan membahas strategi pembebasan Irian Barat, ada relief Trikora, dan relief Jer Basuki Mawa Bea. Sementara lantai tiga berisi replika pakaian pasukan pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat.
12 Diorama: Dari Perang Makassar hingga Peristiwa Andi Azis
Terdapat 12 diorama, 3 relief dan 3 replika pakaian pejuang Abad XVII s/d XVIII. Diorama di lantai satu menceritakan tentang perjuangan di daerah Sulawesi, berikut penjelasan setiap diorama :
Diorama 1
Melukiskan Perang Makassar melawan Belanda, tahun 1668. Pertempuran terdahsyat yang pernah terjadi di Indonesia, mempertahankan Benteng Somba Opu, pusat Kerajaan Gowa di Makassar dari gempuran Belanda, dipimpin Speelman bersama sekutunya (Pasukan Bone yang dipimpin Arungpalakka, pasukan Buton dan Ambon) sementara rakyat Gowa dan sekutunya di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Akhir dari pertempuran itu, 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda. Belanda memberi julukan "AYAM JANTAN BENUA TIMUR” kepada Sultan Hasanuddin.
Diorama 2
Melukiskan Perlawanan Rakyat Wajo Terhadap Belanda, tahun 1716-1741. Pertempuran sengit ditepi sungai Topace’do,Tonrange-Tosora pada Tanggal 3 Maret 1741 digambarkan dalam diorama ini. Di bawah Pimpinan Lamadukelleng, selaku Arung Matoa Wajo memimpin perlawanan rakyat Wajo melawan pasukan Belanda yang dipimpin Gubernur Admiral Smout. Lamadukelleng bersama rakyatnya berhasil memukul mundur dan membunuh 100 tentara Belanda.
Diorama 3
Melukiskan Perlawanan Rakyat Mandar, tahun 1890. Belanda berusaha menguasai daerah Mandar penghasil kopra terbesar di Sulawesi Selatan. Di antara kerajaan-kerajaan Mandar, Kerajaan Balanipa merupakan basis terkuat perlawanan rakyat Mandar dalam menolak kekuasaan Belanda. Belanda mengajak Maradia Tokape dari Balanipa untuk kerjasama, namun ternyata ajakan tersebut ditolak, bahkan Maradia melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan menghadang pasukan Belanda yang mendarat di Majene. Meskipun istana dipertahankan dengan sengit akhirnya Maradia Tokape beserta pasukan pengawalnya berhasil ditangkap Belanda yang kemudian dibawah ke Makassar selanjutnya ke Jakarta, dan akhirnya dibuang ke Pacitan, Jawa Timur.
Diorama 4
Melukiskan Perlawanan rakyat Bone, tahun 1905. Dalam upaya melumpuhkan kekuatan Kerajaan Bone, Belanda berkali-kali mengadakan penyerangan terhadap Bone yang dikenal dengan sebutan Bonische Expeditio atau Ekspedisi Bone, sebuah bentuk penyerangan yang dilaksanakan Belanda melalui laut. Kerajaan Bone diperintah oleh Lapawawoi Karaeng Segeri, Raja Bone yang ke-31, Ia bergerilya meliputi daerah Bone, Wajo, Sidenreng Rappang dan Pare-Pare (dari Watanpone sampai pantai Makassar) dengan cara ditandu karena usia lanjut dengan dikawal putranya sendiri bernama Petta Punggawa. Dalam pertempuran di Batu daerah Pitturiase Wilayah Kerajaan Sidenreng putranya yang setia tewas dan Karaeng Segeri berhasil ditangkap tidak jauh dari tempat putranya tewas. Akhirnya Ia diasingkan ke Bandung terus ke Jakarta dan Meninggal pada Tanggal 17 Januari 1911 di Jakarta.
Diorama 5
Melukiskan Perlawanan Rakyat Tana Toraja, tahun 1906. "Moka ulungku, moka lettekku, Naparenta tobuta” yang artinya: Kaki dan Tanganku Tak Mau Di jajah oleh Orang Buta (Belanda), itulah ucapan Pongtiku ketika ia menolak panggilan Belanda, konsekuensinya Pongtiku harus bersiap-siap menerima serangan Belanda. Dan terjadilah pertempuran Bulan Juni 1906 di Desa Ledan. Pongtiku juga melaksanakan perang gerilya, berpindah-pindah dari satu kubu ke kubu yang lain, dari Gunung Kado ke Rinding Allo, akhirnya pindah ke Lali'Londong. Pada tanggal 7 Juli 1907 Ambo Dake yang diutus oleh Puang Pandanan menemui Pongtiku Di Gua Batu tempat persembunyiannya, diam-diam dibuntuti pasukan Belanda dan berhasil menyergap Pongtiku saat keluar dari Gua, lalu di bawa ke Rantepao. Tiga hari kemudian, tanggal 10 Juli 1907 Pongtiku ditembak mati oleh Belanda ditepi Sungai Sa'dang di pinggir kota Rantepao.
Diorama 6
Melukiskan Serangan Umum Terhadap Kota Palopo, 23 Januari 1946. Ada dua alasan rakyat Luwu melancarkan serangan umum terhadap Kota Palopo tanggal 23 Januari 1946. Pertama, ikut sertanya tentara NICA atau (KNIL) dengan membonceng pasukan sekutu (Australia) yang datang ke Palopo untuk menjemput dan mengambil tawanan serta senjata Jepang. Kedua, adalah kemarahan rakyat terhadap tindakan patroli KNIL yang mengotori Masjid BUA dengan sisa-sisa makanan kaleng, merobek-robek Al Qur'an serta memukuli pegawai masjid dengan gagang senapan. Serangan umum dilancarkan setelah ultimatum yang diberikan ternyata tidak dipatuhi oleh sekutu yakni agar tentara KNIL ditarik masuk kedalam tangsinya. Serangan umum dipelopori oleh Andi Jemma Datu Luwu, M. Yusuf Ariel dll, dan berhasil menghancurkan pasukan kecil sekutu yang ada di Kota Palopo.
Diorama 7
Melukiskan Perlawanan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (Lapris) di Polombangkeng, Mei 1946. Pada tanggal 17 Juli 1946 terbentuk organisasi laskar Pemberontak Rakyat Indonesia:(LAPRIS), dimana Ranggong Daeng Romo ditunjuk sebagai pimpinannya dibantu oleh Makkaraeng Daeng Mandjaruni, Robert Wolter Monginsidi dan lain-lain. Pada tanggal 27 Februari 1947 Subuh tiba-tiba markasnya yang berada di atas Gunung Lengkese-Polombangkeng diserang pasukan KNIL. la mengadakan perlawanan hingga titik darah penghabisan, dan gugur bersama-sama prajuritnya sebagai Kusuma Bangsa.
Diorama 8
Melukiskan Pelantikan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), 1946. KRIS sebagai bagian dari laskar seberang di Istana Yogyakarta. Badan perjuangannya dibentuk di Jakarta tanggal 10 Oktober 1945 oleh Barth Ratulangi, H. M. Idrus GP, Boece Waworuntu dll. KRIS didirikan untuk menyalurkan semangat juang para pemuda Sulawesi yang ada di Jawa dalam satu barisan sebagai spontanitas keikutsertaan mempertahankan kedaulatan RI, KRIS merupakan tindak lanjut dari APIS (Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi) yang sebelumnya adalah GEPIS (Gerakan Pemuda-Pemuda Indonesia Sulawesi) yaitu Organisasi Pemuda-Pemuda Sulawesi yang ada di Jakarta.
Diorama 9
Melukiskan Peristiwa korban 40.000 jiwa, 1946-1947. Pada tanggal 11 Desember 1946 sampai dengan pertengahan Maret 1947 di daerah Sulsel meliputi Kota Makassar, Pare-Pare, Bantaeng dan Mandar telah terjadi suatu tragedi pembunuhan rakyat pejuang secara biadab oleh pasukan kolonialis Belanda di bawah pimpinan Kapten Westerling. Aksi Westerling ini diperkirakan telah menelan korban lebib kurang 40.000 jiwa, termasuk yang hilang. Beberapa tokoh masyarakat korban kekejaman WESTERLING ini antara lain Datu Suppa "Andi Makkasau" dan pemimpin pemerintahan RI di Pare-Pare Andi Bau Massepe sedangkan salah satu wanita yang cukup gigih menentang, kekejaman ini ialah Ibu Depu (Ibu Agung).
Diorama 10
Melukiskan konferensi Kelaskaran Sulawesi-Selatan, 20 Januari 1947. Pada tanggal 20 Januari 1947 di Desa Pacekke, Kabupaten Barru telah berlangsung suatu Konferensi Rakyat Pejuang dengan maksud pembentukan TRI di Sulsel dan Tenggara. Rapat dipimpin oleh Andi Mattalatta selaku pengemban mandat dari panglima besar Jenderal Sudirman. Konferensi ini berjalan dengan baik dan berhasil membentuk Tri Divisi Hasanuddin, Yang terdiri dari tiga Resimen Yaitu:
1. Resimen I / Bade Massepe;
2. Resimen II / Andi Padjonga;
3. Resimen III / Andi Djemma.
Pada kesempatan itu dilantik pula para perwira dalam jajaran Tri
Divisi Hasanuddin.
Diorama 11
Melukiskan Kepahlawanan Robert Wolter Monginsidi di Sulawesi selatan, 1949.
"Setia Hingga Terakhir di Dalam Keyakinan" Inilah tulisan terakhir Wolter Monginsidi sebelum ia gugur sebagai pahlawan. Ia menjadi buruan Belanda nomor satu ketika pada bulan Juni 1946 dibentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia (LAPRIA) yang mempersatukan 19 kelaskaran di daerah sekitar Makassar di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo, sementara Wolter Monginsidi dipilih sebagai Sekretaris Jenderalnya. Dalam perjuangannya Wolter pantang menyerah. Dua kali ia ditangkap oleh Belanda. Pertama pada tanggal 28 Februari 1947, kemudian dipenjarakan di Hogepad pada tanggal 26 Oktober 1947; ia ditangkap kembali pada Maret 1949. Dihadapkan ke depan pengadilan kolonial dan dijatuhi hukuman tembak mati pada dini hari 5 September 1949. Ia masih sempat menuliskan kata-kata di atas sebagai jawabannya.
Diorama 12
Melukiskan Peristiwa Andi Azis, 5 April 1950. Tanggal 30 Maret 1950 satu Kompi KNIL dibawah Kapten Andi Azis di Makassar melebur diri ke dalam APRIS. Tetapi tanggal 5 April 1950 mereka memberontak. Mereka menyerang markas Polisi Militer di Makassar dan menangkap Letnan Kolonel A. J. Mokoginta. Pemerintah mengeluarkan ultimatum supaya dalam waktu 4 x24 jam Andi Azis menghadap ke Jakarta. Karena ultimatum itu tidak diindahkan, APRIS mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang. Satuan-Satuan yang turut ialah Brigade Mobil Divisi IV Jawa Barat dan satu Batalyon di bawah pimpinan Mayor Andi Mattalatta. Pasukan diangkut dengan kapal-kapal APRIS dan mendarat di Makassar pada tanggal 26 April 1950. Namun sebelum pasukan mendarat, Andi Azis sudah menyerahkan diri ke Jakarta.
Sementara di lantai dua juga berisi relief dan diorama yang merupakan penjelasan sejarah seputar perjuangan pembebasan Irian Barat. Sama dengan lantai satu, lantai dua juga memiliki 12 diorama. Tiga relief yang ada di lantai dua ini menggambarkan sidang atau rapat persiapan membahas strategi pembebasan Irian Barat, ada relief Trikora, dan relief Jer Basuki Mawa Bea. Sementara lantai tiga berisi replika pakaian pasukan pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat.
0 komentar :
Posting Komentar